Rantau Embacang merupakan dusun (desa) yang homogen. Dusun ini memiliki satu agama yang sama yaitu Islam. Seluruh masyarakat Rantau Embacang merupakan penganut agama Islam. Agama Islam diyakini telah menjadi agama orang yang pertama kali menetap di Dusun Rantau Embacang, itu artinya masyarakat Rantau Embacang dari dulu berdiri hingga sekarang merupakan penganut agama Islam. Dusun Rantau Embacang sendiri diperkirakan berdiri pada abad ke 18.
Islam di Dusun Rantau Embacang merupakan Islam Ahlu Sunnah Wal Jama'ah dengan Aqidah Asy'ari, Fiqh mazhab Syafi'i dan Tasawuf Junaid Al-Baghdadi. Tradisi keislaman di Rantau Embacang mempunyai banyak kemiripan dengan tradisi yang berkembang pada warga Nahdhatul Ulama' (NU). Seperti di wilayah Melayu yang lain, di Rantau Embacang juga mengenal sebuah adagium "adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah". Ini berarti bahwa adat istiadat maupun tradisi yang berkembang di masyarakat Rantau Embacang tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-sunnah.
Sejarah Pendirian Madrasah Pertama di Rantau Embacang
Sejak era pra-kemerdekaan Indonesia bebarapa pemuda Rantau Embacang telah banyak yang menuntut ilmu di luar Onder Afdeling Muara Bungo (Kab. Bungo saat ini), kebanyakan mereka menuntut ilmu agama Islam di Pesantren-pesantren di Kota Jambi. Sepulangnya mereka dari menuntut ilmu dari Kota Jambi mereka menjadi guru agama bagi masyarakat Rantau Embacang, yang mengajar anak-anak mengaji dan pengetahuan agama yang lain. Tidak jarang juga mereka langsung menjadi pegawai syarak di Masjid.
Pada masa itu ilmu agama hanya diajarkan di rumah-rumah guru ngaji yang durasinya dari selepas Maghrib hingga Isya. Hal ini tentu saja membuat pembelajaran ilmu agama menjadi sangat terbatas. Untuk itulah sebagian masyarakat menginginkan agar dibangunkannya sebuah Madrasah di Dusun Rantau Embacang.
Pada tahun 1947 saat Rantau Embacang dipimpin oleh Rio Abdul Lajib. Diadakanlah sebuah musyawarah di kediaman Rio Abdul Lajib yang membahas tentang rencana pendirian Madrasah di Rantau Embacang. Musyawarah tersebut menghasilkan beberapa keputusan :
1. Madrasah akan segera dibangun di Mudik Bukit
2. Seluruh masyarakat diharapkan ikut berpartisipasi dalam pembangunan madrasah tersebut
3. Menetapkan iuran Per KK
Madrasah tersebut pembangunannya langsung dimulai sejak tahun 1947 dan selesai pada tahun 1948. Madrasah dibangun semi permanen dengan tiga lantai yang menghadap langsung ke Sungai Batang tebo. Setelah selesai dibangun tahun 1948, pada tahun itu juga kegiatan belajar-mengajar di Madrasah tersebut langsung dimulai. Madrasah tersebut merupakan Madrasah Ibtidaiyah (dasar) dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda. Muhammad Daud dan Muhammad Said adalah guru pertama kali yang mengajar di Madarasah Nurul Huda. Jumlah murid pada tahun ajaran pertama Madrasah Nurul Huda dibuka diperkirakan hanya 30 orang dan terus meningkat setiap tahun. Adapun bidang studi yang pertama kali diajarkan pada tahun pertama dibukanya Madrasah ini adalah: Tauhid, Tafsir, Hadist, Fiqih, Nahwu, Shorof, dll.
Tradisi Islam di Rantau Embacang
Ada banyak tradisi Islam yang berkembang di Dusun Rantau Embacang, tradisi-tradisi tersebut berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi. Tradisi-tradisi tersebut diantaranya:
Sedekah
Sedekah atau “sarkah” dalam pelafalan masyarakat Rantau Embacang adalah suatu tradisi yang mengundang orang ke rumah penyelengara sedekah untuk mengadakan acara pembacaan beberapa ayat-ayat Al-Qur’an, tahlil, doa, yang dipimpin oleh imam dan diakhiri dengan acara makan bersama. Makanan tersebut disediakan oleh orang menyelenggarakan sedekah tersebut. Acara “sarkah” bagi masyarakat Rantau Embacang juga merupakan sinonim dari Tahlilan dan Syukuran.
Dalam tradisi masyarakat Rantau Embacang, orang yang menghadiri acara sedekah merupakan orang yang telah diundang sebelumnya. Pihak penyelenggara sedekah biasanya mengundang satu hari sebelum acara sedekah dilaksanakan. Adapun orang-orang yang diundang biasanya adalah tetangga-tetangga si penyelenggara sedekah dan juga keluarga besarnya.
Untuk menyediakan makanan sedekah tersebut, si penyelenggara sedekah biasanya memasak sendiri makanan tersebut dengan dibantu tetangga dan keluarga besarnya. Memasak ini dilakukan oleh ibu-ibu. Pihak laki-laki biasanya hanya membantu menyediakan kayu bakarnya saja.
Acara sedekah ini dilakukan oleh masyarakat Rantau Embacang pada saat, seperti :
- 3 hari, 7 hari, 14 hari, 40 hari dan 100 hari setelah meninggalnya seseorang.
- Haul atau bertepatan dengan kematian seseorang (setiap tahun).
- Syukuran karena menempati rumah baru
- Syukuran karena memiliki kendaraan baru
- Kelahiran anak
- Menjelang keberangkatan Haji
- Sebelum menanam padi (baumo)
- Dll
Ziarah Kubur
Ziarah kubur merupakan kegiatan mengunjungi makam. Pada masyarakat Rantau Embacang tradisi semacam ini dilaksanakan pada pada hari lebaran, tepatnya pada tanggal 1 dan 2 Syawal. Kebanyakan masyarakat Rantau Embacang melakukan ziarah kubur pada tanggal 2 syawal atau pada hari lebaran kedua. Kompleks pemakaman di Rantau Embacang sudah mulai dibersihkan pada saat sebelum memasuki bulan Ramadhan.
Acara ziarah kubur berisi pembacaan surah Yasin, dan surah-surah yang lain dan diakhiri dengan doa. Acara ziarah kubur biasanya dimulai dari kata sambutan dari perwakilan keluarga tentang maksud dan tujuan dari pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut kemudian langsung membaca surah Yasin yang sebelumnya diawali dengan pembacaan surah Al-Fatihah dan berakhir dengan pembacaan doa.
Makan Nasi Beng
Masyarakat Rantau Embacang setiap tahunnya selalu memperingati hari-hari besar Islam. Dalam memperingatinya tersebut ditandai dengan membawa beng (nampan) yang telah berisi nasi dan lauk pauk, yang setelah acara selesai dimakan secara bersama-sama. Nasi beng yang kita makan bukanlah nasi yang kita bawa, karena sebelum acara dimulai beng-beng tersebut dikumpulkan, dan setelah acara selesai beng tersebut dibagikan secara acak oleh panitia penyelenggara, sehingga kecil kemungkinan kita akan memakan nasi didalam beng kita sendiri.
Membawa nasi beng dalam masyarakat Rantau Embacang dilakukan pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj, Imtihan dan Khatam Al-Qur’an. Tradisi ini merupakan tradisi sukarela artinya masyarakat tidak dipaksakan untuk ikut membawa beng. Mengenai jumlah maupun jenis lauk di dalam beng tersebut tidak ada aturan, masyarakat diberi kebebasan untuk mengisi beng nya tersebut.
Hari Asyuro
Hari asyura atau “asyuro” dalam pelafalan masyarakat Rantau Embacang adalah hari ke-10 bulan muharram. Pada hari ini banyak kejadian besar yang terjadi pada zaman nabi-nabi terdahulu, seperti berlabuhnya bahtera Nabi Nuh setelah banjir besar melanda, padamnya api yang membakar Nabi Ibrahim dan lain-lain.
Pada hari tersebut masyarakat Rantau Embacang mengadakan acara memasak bubur asyuro dan menyantuni anak yatim piatu. Bubur asyuro terbuat dari bahan-bahan seperti: beras, bawang, ikan teri, garam, santan kelapa, dll. Bahan-bahan tersebut diambil dari masyarakat Rantau Embacang yang dikumpulkan oleh Mudim (pelayan Masjid). Pada tanggal 10 muharram pagi, ibu-ibu secara bergotong royong memasak bubur ini di halaman masjid, menjelang siang bubur ini siap dibagikan kepada seluruh masyarakat. Masyarakat yang menginginkan bubur ini bisa langsung ke masjid dengan membawa wadahnya. Setelah selesai shalat zuhur barulah kegiatan menyantuni anak yatim piatu dimulai.
Itulah beberapa tradisi Islam yang berkembang di Dusun Rantau Embacang. Terlihat bahwa Islam sangat mempengaruhi adat dan tradisi mayarakat Rantau Embacang.
Demikian lah sedikit informasi mengenai Islam di Dusun Rantau Embacang.
Komentar
Posting Komentar